Penulis: Fitra Yadi
Ilustrasi, Photo: http://www.justic.or.id |
Dari dalam mushalla adik-adik menghidupkan tape recorder mencoba bunyi speaker dengan memutar kaset Shalawat Cahaya Rasul 1 yang dinyanyikan oleh Mayada. Hendrisab dan Pado mengatur volume amplifier sampai dapat setelan yang serasi, wuih mantap bunyinya kawan.
Aku turun dari atap kemudian terus ke tempat berwudhuk hendak membersihkan diri, sebentar lagi magrib kan masuk, aku berjalan di tepi kolam memperhatikan ikan-ikan yang muncul-tenggelam, sejenak aku berdiri menyandarkan punggung ke dinding mushalla sambil menikmati merdunya shalawat yang dilantunkan Mayada, aku pandang Bukit Barisan nan berjejer di Kamang sana. Pikiranku menerawang merenda nasib, merangkai duri menjadi bunga, mengasah batu menjadi permata. Aduhai... kiranya.... entahlah...
Ketika itu bulan September tahun 1999 M, sekitar Jumadil Akhir tahun 1420 H, dua bulan menjelang puasa, hatiku gersang gundah gulana, sering bermenung mengukir asa memandangi awan berarak senja, aku lebih suka diam bersahaja.
Teringat bapak di kampung berhidup susah, terbanyang emak yang lapuk di lunau sawah, untunglah sekarang aku diberi Allah rezki yang melimpah, alhamdulillah sehingga tidak lagi memberatkan kedua orang tua. Kami tinggal di mushalla Al-Ittihad (Surau Baru) Koto Tuo Canduang ini memanglah tidak bergaji, honorpun tidak ada, namun masyarakat memberi kami pekerjaan seperti ke sawah, membersihkan ladang, ada juga yang hanya sekedar bersedekah. Bila musim panen tiba, kami diajak mengirik padi, kemudian pulang ke surau penuhlah karung berisi padi, padi itu kami jemur kemudian digiling di mesin Huller untuk dimakan, lebihnya kami jual.
Kalau tidak salah, ketika itu ada 7 orang anak siak tinggal di Surau baru semuanya dari Tanah Datar, diantaranya Hendrisab, Lukman, M. Anggi Anggana, Eka Putra Pado, Salmi Dt. Kampuang, Ilham Ilahi Pakiah dan Fajar Satria Tama.
Di kampung, ada ketidak harmonisan sebenarnya hubungan antara aku dan bapak, pasalnya beberapa sikap beliau aku tidak cocok, kalau pulang ke kampung aku sering bertengkar dengan beliau. Hal demikian sudah berlangsung sejak lama, bapak menurutku sangat pemarah dan mudah naik darah, beliau terlalu memaksakan kehendaknya, itu kan menurutku, kalau bapak memandangku enahlah. Itulah yang mendorongku untuk merdeka nak lepas darinya, aku cari uang sendiri untuk biaya sekolahku di Tarbiyah. Itu juga yang membuatku malas pulang, padahal rindu dengan kampung halaman sangatlah besar.
Sekarang aku baru beberapa bulan duduk di kelas Enam Tarbiyah setara dengan tingkat dua SMA. Aku merasa sudah dewasa berhak mengatur diri sendiri. Benar kata pepatah, kalau anak muda jolong gadang hawa bapantang kerendahan, nafsu pantang kelintasan, jika langkah sudah terlangkahkan, berpantang dihela surut kembali, kuku pantang dicukur, muruah diri pantang dihinakan.
Memandang kepada keegoisanku ketika itu, rasanya jati diriku harus diganti, kampungpun harus diubah, kalau orang bertanya dari mana asalku, maka aku akan menjawab "awak urang Canduang" bukan Sumanik lagi kawan, begitulah pekatnya hati semasa itu. Dulu aku pulang kampung sekali dalam sepekan, kemudian sekali limabelas hari, kemudian sekali sebulan dan sekarang sudah lima bulan aku tidak menjenguk orang tua, padahal dari Canduang ke Sumanik jarak tempuhnya hanyalah berjarak 33 Km saja.
Dek ulah rambang mato, hati gadang barabu kambang, walaupun dalam pengawasan guru, di lokalku kelas Enam Satu jurusan MAK MTI Canduang banyaklah kawan nan baintaian, bermain mata, berkirim salam, berbalas surat, sampai cemburu-cemburuan antar laki-laki dan perempuan, aku suka sekali membaca surat-surat mereka.
Jikalau ditilik dipandang rupa kata "Baintaian" bukanlah bermakna pacaran sebagaimana yang berlaku pada umumnya anak muda. Bersumber dari Kamus Minangkabau - Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1985 halaman 116 disebutkan bahwa "baintaian = saling mengintai; main mata; suka melihat seseorang dengan pengharapan. Jadi awal baintaian adalah ketertarikan kemudian saling berpandangan dan kemudian saling berkirim surat. Tidaklah dinamai baintaian kalau berjalan berdua-dua atau bertemu ditempat lengang, itu "Bacimele" namanya, maksiat, pantangan bagi kita.
Kegersangan hati karena kurang kasih sayang dari rumah membuatku mencari-cari pelampiasan lain, aku mulai tertarik dengan Baintaian, namun aku pemalu dan tidak pula menarik rupa. Ada beberapa orang kawan perempuan di kelas yang aku suka namun aku takut Maintainya, takut tidak diterima.. ha ha ha ha
Aku ingat, dulu pamanku di kampung pernah bercerita bahwa pak Burhan guru Silatnya di Lima Kaum Batusangkar juga menyekolahkan anak-anaknya di Tarbiyah Canduang tapi entahlah kelas berapa. Aku penasaran dengan mereka lalu aku bergerilya mencari tahu.
Awalnya aku bertanya kepada teman sekelasku yang juga sama-sama berasal dari kabupaten Tanah Datar. "Ita, tahu ndak, orang Lima Kaum Batusangkar yang sekolah di sini?", "Ita kurang tahu, soalnya Ita kan dari Pariangan jarang bergaul dengan kawan-kawan dari belahan Batusangkar" jawabnya.
Aku punya ide "hendak mendata nama-nama santri Tarbiyah Canduang yang berasal dari Tanah Datar". Hal itu aku mulai dari lokalku, ada 7 orang yang tercatat. Kawan yang lain mengusulkan supaya mencatat juga yang di lokal sebelah. Lalu aku temani mereka melakukan pendataan, bila ada yang bertanya "ini data untuk apa?", aku akan menjawab "data ini untuk organisasi santri Tanah Datar", mereka sangat mendukung dan menawarkan diri untuk mendata di lokal-lokal lainnya.
Dari kawan-kawan senior aku dapat informasi bahwa dulu di Tarbiyah Canduang ini ada organisasi santri namanya PESTAD (Persatuan Tanah Datar), lama fakum kemudian lahir lagi IKTD (Ikatan Tanah Datar) fakum lagi, maka sekarang sudah waktunya membentuk organisasi yang baru supaya santri-santri yang berasal dari Tanah Datar bisa saling kenal-mengenal diantara sesama mereka.
Lalu kami menggelar rapat pembentukan organisasi Tanah Datar yang dihadiri lima orang. Disepakati ketika itu akan melakukan rapat lagi setelah seluruh data warga Tanah Datar terkumpul. Maka dibagi lagi tugas pendataan untuk beberapa orang, hasilnya akan dikumpulkan Sabtu depan.
Satu pekan selesailah pendataan warga, aku tulis data-data per kelas dan tingkatannya dengan mesin Tik yang aku pinjam dari uni Nel Surau Baru. Aku tandai semua santri yang berasal dari Lima Kaum. Wah.. puluhan, banyak sekali, aku tidak tahu yang mana anaknya pak Burhan itu.
Lalu kepada kawan-kawan aku pesanku supaya nanti sepulang sekolah sekitar pukul setengah tiga kita ajak kawan-kawan hadir dalam rapat pembentukan organisasi Santri Tanah Datar yang bertempat di lokalku ruang B-2.
Acara dimulai dengan ta'aruf, aku mulai dulu memperkenalkan diri, kemudian dilanjutkan bergiliran masing-masing peserta, aku ceklist daftar nama yang terdata sebagai tanda kehadiran.
Wah aku dapat, ini dia, ada beberapa orang santri putri yang berasal dari alamat yang sama di Lima Kaum, mereka tiga bersaudara. Ada yang sedang duduk di kelas dua Tarbiyah, ada pula di kelas empat, kelas dan kelas Enam Tarbiyah. Aku telah menemukan orang yang aku cari, berdebar-debar rasanya menyebut namanya "Dewi Putri Sahara", sekelas denganku namun beda lokal, ia di lokal Enam tiga sedangkan aku di lokal Khunsa Enam Satu.
Rapat membuahkan beberapa hasil keputusan, diantaranya; organisasi ini bernama HIMSATD (Himpunan Santri Tanah Datar) dan saya ditunjuk menjadi ketua; Pekan depan akan diangkat acara perdana, yaitu Muhaddarah, masing-masing anggota dari kelas satu sampai kelas dua harus tampil berpidato, kalau yang senior akan tampil membaca Khutbah Jum'at.
*****
Rasanya ada sesuatu yang menyesak di dalam dada, jantung berdebar kencang bila teringat Sahara, "aku memang sungguh tertarik dengannya, namun bagaimana cara mendekatinya?" gumamku melangkahkan kaki berjalan pulang ke Koto Tuo. Setengah jam berjalan tidak berasa apa-apa padahal keringatku bercucuran punggung dan ketiakku basah, perut lapar dan dahaga. Aku masuk ke dalam kamar Surau, sedangkan adik-adik sudah berada di dalam Mushalla, aku minum segelas air putih kemudian berwudhuk untuk melaksanakan shalat Ashar berjama'ah, Hendrisab tampil sebagai imam.
Di Tarbiyah aku mencari-cari keberadaan Sahara, aku ingin selalu melihatnya. Ketika istirahat pertama aku tidak sabar menunggunya keluar dari pintu lokalnya. Walau hanya nampak sebentar saja, itu cukuplah sebagai vitamin penambah darah. Ha ha ha ha ha ha
Di acara Muhaddarah aku minta Sahara sebagai protokol, aku senang melihatnya tampil membawa acara, aku bebas menatapnya lama-lama tiada sesiapa yang curiga aku memanfaatkan suasana. Aku sempatkan diri selalu berkomunikasi dengannya, penting tak penting yang penting aku bicara dengannya, ha ha ha ha. Muhaddarah ini adalah acara perdana, aku agak susah mengurusnya, maklumlah belum berpengalaman, namun aku sangat bersemangat karena di situ ada Sahara. He he he he
Sekira di bulan Oktober tahun 1999 M bertepatan dengan bulan rajab 1420 H, hari-hariku asyik saja membayangkan Sahara, sedap kali kalau lagi di lamun cinta ya.. hilang penat hati, lupa sementara kampung halaman.
"Syahdan, ketika itu aku mau pulang kampung ke Sumanik Batusangkar, kita menunggu bus di Simpang Canduang, tidak lama kemudian bus datang, aku dan Sahara duduk berdampingan, kami saling berpandang-pandangan, bercerita dari hati ke hati. Aku utarakan perasaanku padanya, bahwa aku sangat mengaguminya. Bus terus melaju, tiba-tiba bumi terasa bergoyang, entah gempa entah apa yang terjadi bus melayang ke dalam jurang, namun aku tidak berdarah, tidak pula mengalami patah-patah," Tersintaklah aku tidur, ku angkat kepala dari meja, rupanya ustazd sudah keluar dari lokal, kita mau pulang. Begitu asyiknya sampai-sampai Sahara terbawa mimpi. Sungguh aku terserang satu penyakit aneh kawan, namanya "sakit angau". Asyik saja membayangkan Sahara, terkenang selalu akan dia, aku dilamun perasaan cinta.
Dengan gontai aku langkahkan kaki, sebelum keluar pagar aku sempatkan dulu melirik ke lokal Sahara, nampaknya tiada sesiapa lagi di dalam sana, namun hatiku mendorong kuat tuk melangkah ke sana. Aku berdiri di depan pintu melongok ke dalam lokal Sahara, oh rupanya Sahara dan beberapa orang kawannya masih ada di sana, ia sedang menyusun-nyusun buku dan kitab-kitab. Aku terkejut malu, mau surut sudah terlanjur basah, mau maju ya ngapain, aku termangu berdiri menatapnya. Sahara menyapaku, "ada apa ketua?" "oh iya, ini mau minta tolong membuat pidato" jawabku seadanya. "wah janganlah, saya tidak bisa, tidak sempat membuatnya" elak Sahara sambil berjalan ke arahku. Aku beringsut ke luar mempersilahkan pulang ke asrama. "Untuk siapa ketua?" katanya lagi, "ini untuk adik-adik kelas satu, masih banyak yang belum hafal muqaddimah pidato" jawabku tidak kehilangan akal.
Aku begitu menikmati mengobrol dengan Sahara, pengen lama-lama disitu, tidak hendak beranjak sedikitpun, "hatiku tenang bersamamu oh... Sahara.." nyanyian batinku. Dari raut wajahnya Sahara ada respek denganku, aku sangat senang, mungkin ini suatu pertanda bahwa aku diperbolehkan masuk menembak hatinya. Sahara senyum selintas lalu kemudian melangkah pergi menggendong kitab-kitabnya.
Aku belum jadi pulang ke Surau Baru, aku jalan dulu ke Baso membeli kertas bunga, malam ini rencananya akan ku buat sepucuk surat menyatakan perasaan kepada Sahara.
Bakda Isya di surau Baru, aku mulai menulis surat itu, muqaddimahnya aku bikin sepeti konsep pidato, mulanya aku tulis dulu di buku isi empat puluh, sayang kan kalau nanti salah kertas bunganya terbuang sia-sia.
Malam itu adik-adik sedang keluar, mungkin mereka nonton TV di rumah mak Man atau mungkin di rumah tek Mi. Lama sekali aku membuatnya, buntu tidak tahu mau menulisnya seperti apa, hingga banyaklah coret-coretnya.
Aku bangun cepat, pukul setengah empat subuh setelah shalat malam aku coba bolak-balik lagi konsep tadi, aha.. aku dapat inspirasi aku menemukan kosakata apa yang harus dituliskan. Maka mengalirlah mata pena berselancar di atas kertas, kemudian aku buka kertas bunga, waw... wangi baunya, disalinlah konsep itu ke kertas warna-warni itu dengan tulisan sejelas mungkin.
Jantungku berdebar kencang, tegak tidak enak, duduk tidak nyaman bak seumpama sedang ujian lisan baca kitab Kuning. Tiba-tiba aku diserang demam, badanku panas-dingin, kepala terasa berat karena harap-harap cemas. Aku mesti siap mental bilamana Sahara menolak suratku.
Aku bungkus surat itu dengan kertas putih lalu disimpan di dalam saku depan baju seragamku. Maju-mundur hatiku, tapi kalau tidak sekarang kapan lagi waktunya untuk menyatakan perasaan kepada Sahara. "Bila nanti ia menolak, tidak mengapa, yang penting dia sudah tahu bagaimana perasaanku padanya. Aku harus siap menghadapi kenyataan ini bila nanti Sahara marah kepadaku.
Dengan langkah pasti aku temui Sahara di lokalnya, ketika itu pukul satu lewat seperempat, kita baru siap istirahat kedua. Aku berdiri di depan pintu melirik kepadanya, ia tanggap lalu berdiri menemuiku dekat pintu. "Ketua, saya belum sempat membuat pidatonyo, buntu, tidak ada bahan" kata Sahara mengira aku menagih konsep pidatonya.
Aku bergeser agak menjarak, Sahara menghampiriku di luar lokal. "Ini ada satu konsep pidato, tolong Sahara telaah di asrama ya" pintaku. "Oh jangan, jangan saya, minta saja bantuan Ita" tolaknya. "Bukan.. ini untuk Sahara" timpalku sambil mengacungkan tangan memberikan surat itu. Sahara terkejut, air mukanya berubah, nampak sekilas di dalam kertas putih itu ada kertas bunga. Dengan gugup ia mengambilnya lalu pamit berjalan ke arah asrama.
Aku bingung serba salah, seharusnya sekarang Sahara masuk kelas, namun ia berjalan menuju asrama, sekarang jam pelajaran sudah masuk, santri-santri sedang menanti guru di lokal masing-masing. Aku kembali ke lokalku, diam bermuram durja. Aku ingat-ingat lagi kata-kata yang dituliskan di surat itu, aku takut salah dalam bicara yang membuat Sahara marah.
Koto Tuo Canduang, Selasa 19 Oktober 1999 - 10 Rajab 1420 H
Dear my best friends
Sahara
Assalaamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakaatuh
Alhamdulillah, alhadulillahi rabbil 'alamin
Wasshalaatu wassalaamu 'ala Asyrafil Anbiyaa i walmursalin
Wa 'ala alihi wa sahbihi ajmain..
Amma Bakdu
Tiada kata yang paling indah selain daripada puja dan puji kepada Pencipta Alam Semesta. Beliaulah yang Maha Pengasih tanpa pilih kasih, yang Maha Penyayang tanpa pilih sayang. Kasih-Nya tercurah ke seluruh Alam namun sayangnya hanya tercurah kepada hamba-Nya yang bertaqwa.
Kemudian shalawat beserta salam marilah kita hadiahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Sallahu 'Alaihi wa Sallam yang telah berjuang membawa ummat manusia dari tangsi kejahilan kepada alam terang benderang seperti sekarang ini.
Ditemui surat ini semoga Sahara beroleh berkah dari Allah Azza wa Jalla hendaknya. Sehat selalu dan sukses dalam menimba ilmu di Tarbiyah.
Sahara.. bergetar hatiku menyebut namamu...
Sejak awal perjumpaan kita ketika rapat tempo hari, hatiku jadi gundah gulana, makan tak enak, tidur tak nyenyak, hatiku sibuk selalu memikirkan dirimu.
Aduhai... penyakit apalah ini namanya, jantungku berdegup kencang bila dekat denganmu.
Tidak ingin aku jauh-jauh..
Aku akan demam bila setiap hari tidak melihat dirimu, walau hanya nampak bayanganmu, bagiku itu sudah cukup untuk penambah energiku..
Sahara...
Aku jujur mengungkapkan rasa bahwa aku sayang padamu, aku cinta akan engkau Sahara.
Aku hanya ingin engkau tahu bagaimana perasaanku padamu supaya engkau tidak bertanya-tanya mengapa aku begitu perhatiannya denganmu.
Aku mohon maaf Sahara bila surat ku ini mengganggumu, maafkan aku, bila engkau tidak berkenan, mohon jangan jauhi aku.
Wassalam
Alfaqir
Seminggu sudah, tidak ada kabar dari Sahara, namun setiap hari aku ada nampak dia di sekolah. Aku penasaran ingin tahu bagaimana perasaan Sahara kepadaku, apakah dia marah ataukah membenciku setelah membaca surat itu. Bagaimana caranya ya...
Aha aku dapat ide; aku temui kawan-kawan pengurus HIMSATD membicarakan program Ramadhan, sebulan lagi bulan akan masuk vakansi puasa. Kawan-kawan menghendaki ada musyawarah bersama, "iya benar, silahkan kumpulkan kawan-kawan" instruksiku kepada sekretaris. Lalu berkumpullah pengurus-pengurus HIMSATD di lokalku, Sahara juga hadir di situ, dari depan aku pandang-pandang terus dia yang duduk di barisan belakang, aku perhatikan ekspresi dan air mukanya, ia nampak ceria. Tidak ada sedikitpun tergambar penolakan darinya, aku agak lega dan berencana akan menyapanya setelah usai acara.
Rapat memutuskan untuk melakukan program latihan pidato selama sebulan ini, menjelang Ramadhan kegiatan Muhaddarah diadakan sekali dalam seminggu.
Setelah rapat selesai aku mendekati Sahara, "Sahara.. bagaimana kabarnya?", "Alhamdulillah baik ketua, ketua bagaimana? apakah masih demam?" ia balik bertanya. "Oh demam....??" aku bingung. "Tapi ketua demam, sakit apa namanya... Angau ya" jawabnya. Aku ketawa tersipu malu...
"Maafkan aku Sahara telah mengungkapkan rasa yang tidak seharusnya padamu" kataku agak menjauh dari kawan-kawan. Sahara mengikutiku agak ke sudut di belakang meja guru, Sahara senyum tenang memandangku.
"Aku hanya ingin engkau tahu Sahara, daripada nanti heran dengan perbedaan sikapku padamu."
"Itu saja ketua..." tanya sahara...
"Kalau lebih dari itu boleh... tambahku". "Boleh" jawab Sahara lugu".
"Maukah engkau memberikan satu ruangan di hatimu untukku Sahara?", "Iya" jawab Sahara pendek sambil mendehem, terdengar suaranya parau tidak bisa melanjutkan kata-kata.
Aku senang bercampur haru, kepalaku terasa ringan, dada terasa lapang, lapang... sekali. Beginilah rasanya kalau cinta diterima, bahagia benar kawan, aku tersenyum dan berucap "terimakasih Sahara, kita pulang ya...
Rupanya kawan-kawan menyimak, mereka semua tahu, sampai diluar kami disindir-sindir, mereka mendehem-dehem "sudah jadian ya.... ha hahahah " ketawa mereka.
*****
Sebulan sudah kita menjalani hubungan, bercerita hanya melaui surat saja, bertemu cuma disaat ada acara, ada batas-batas yang tidak boleh dilewati.
Berlembar-lembar surat telah aku tulis untuk Sahara, di surat itu aku bercerita macam-macam kepada Sahara, tentang perihal diriku, keluargaku dan lainnya. Sahara jarang membalasnya, ia hanya berkata "saya menjadi pembaca aja lah ya, tidak pandai menulis surat seperti ketua'.
Sejak jadian dengan Sahara aku jadi hobi menulis, aku baru sadar akan talentaku. Aku senang sekali ada Sahara dengan setia membaca postingan-postinganku. Hal itu memacu semangatku untuk memperbanyak membaca dan terus menulis.
Sahara gadis bertipe apresiatif, ia suka memberi tanggapan atas tulisan-tulisanku, mengapresiasi setiap usahaku untuk belajar dan untuk mengurus organisasi HIMSATD. Rasanya aku kurang mendapatkan apresiasi selama ini sehingga aku tidak mencintai kampung asalku.
Tentang bapakku, sekarang beliau sudah tidak menjadi beban fikiran lagi bagiku, aku sudah bisa berdamai dengan sikap-sikapnya. Dua pekan lalu aku pulang kampung lagi ke Sumanik membezuk orang tua, adik-adik dan keluarga besar. Bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaanku, sekarang aku sudah bisa tenang tidak mudah panas lagi seperti dulu.
Hari Kamis tanggal 24 Desember 1999 M 24 Sya'ban 1420 H, sepekan sebelum Ramadhan tiba, santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang memasuki masa vakansi, libur Ramadhan di kampung masing-masing, nanti setelah Puasa enam atau seminggu setelah Idul Fitri mereka kembali lagi belajar seperti biasa. Aku tidak terpengaruh evoria pulang kampung, bagiku biasa saja, karena Ramadhan ini aku tetap tinggal di Canduang mengurus Mushalla.
Aku berdiri di halaman Tarbiyah, membagi-bagikan surat permohonan mengisi jadwal ceramah kepada santri warga HIMSATD, di dalam surat itu ada permohonan kepada jamaah masjid dan mushalla untuk diizinkan praktek ceramah Ramadhan serta mohon sumbangan Infaq dan sedekah.
Seorang bapak sedari tadi memperhatikanku, aku senyum menyapanya, memperkenalkan diri sebagai ketua HIMSATD, aku menerangkan kepada beliau bahwa dengan surat ini santri akan terbantu untuk melakukan praktek ceramah di kampung masing-masing. Beliau sangat mendukung dan mengacungkan jempol. "Bagus sekali" katanya.
Beliau memperkenalkan diri pula, namanya Burhan dari Lima Kaum Batusangkar, sedang menunggu anak-anaknya yang sedang packing di asrama putri MTI Canduang. Alamak... betapa terkejutnya aku, ini kan pak Burhan orang tuanya Sahara... waduh, aku agak gerogi, merendahkan suara menjaga sikap... Calon mertua.. he hehehhe
"Wah bapak ya... orang tuanya Sahara pak.. " tanya saya. "Iya betul" jawabnya. "Paman saya juga ada cerita tentang bapak", "aaa siapa?" tanggapnya pengen tahu. "Dusriadi pak," "Oh si Dus... urang Sumanik kan..", "Iya pak benar, orang Sumanik, beliau paman Saya". "Udo Edi juga ada bercerita", "Edi Biaro?", "Iya pak betul, yang usaha toko obat di Pulau Kijang, katanya bapak guru Silat beliau di Arai Pinang." kataku.
Sambil membagikan-bagikan surat kepada warga Tanah Datar, kami mengobrol panjang lebar, pak Burhan perawakannya seperti India Mumbai, berkumis tebal tapi tidak sangar, berwibawa kelihatannya. Akhirnya Sahara dan saudari-saudarinya tiba di dekat kami menenteng karton dan tas-tas dari Asrama putri, aku merasa kikuk membagikan surat itu kepada mereka.
Pak Burhan pamit "lain hari mainlah ke rumah kami, tanya saja ke sopir bus di terminal Dobok, mereka pasti tahu" ajaknya padaku. Aduhai.... hatiku riang gembira, pucuk dicinta ulampun tiba, awak bakandak urang maimbau pulo, hatiku bernyanyi-nyanyi kegirangan... Sejenak Sahara menoleh ke belakang memandangiku, aku senyum melambaikan tangan melepas mereka.
*****
Sekira hari Kamis tanggal 13 Januari tahun 2000 bertepatan dengan 6 Syawwal 1420 H hari terakhir puasa enam. Aku pulang dari Sitiung Tiga Sungai Rumbai Dharmasraya. Putar balik saja dari Canduang bersilaturrahim selama tiga hari ke rumah sanak-famili dalam suasana hari Raya. Disamping itu, aku juga membawa list sumbangan,infaq dan Sadaqah untuk pembangunan Pondok Pesantren MTI Canduang.
Aku duduk di sebelah sopir, bus melaju dengan santainya dari terminal Bareh Solok menuju kota Batusangkar. Aku menikmati sekali perjalanan ini, memandang keluar jendela nampaklah sawah berjenjang-jenjang, bukit berjejer-jejer kemudian sampailah di hamparan danau Singkarak. Siang itu danau Singkarak amat menawan, ombaknya tenang, airnya jernih pula, nampak kebiruan dari jalan raya.
Rencananya hari ini aku mau ke kampung halaman dulu Sumanik, menemui kedua orang tua, nginap agak semalam kemudian besok paginya berangkat lagi ke Canduang.
Di perjalanan dekat Rambatan iseng aku bertanya kepada sopir "Pak.. kenal pak Burhan pak.. beliau Agen Bus di terminal Dobok Batusangkar", "Iya, kenal". "Rumahnya di mana pak?" "Rumahnya kalau dari sini dekat simpang menjelang terminal". "Tolong tunjukkan aku rumahnya ya pak", "Iya, nanti saya tunjukkan" kata pak Sopir.
Sopir memperlambat laju bus, lalu menghidupkan lampu sen kiri, "dik! itu rumahnya" katanya seraya menginjak rem, Bus berhenti. Anggapanku ada penumpang lain yang turun disitu, aku melihat ke rumah itu, "oh ini ya rumah Sahara" batinku. "Iya dik, itu rumahnya" kata sopir itu tegas mengisyarakatkan aku turun di situ.
Ops. aku serba salah, tadinya hanya iseng aja pengen tahu, rupanya sopir mengira aku mau berhenti di sana. Segan dengan sopir, lalu aku turun juga di depan warung di simpang itu.
Bus melanjurkan perjalanan, aku kebingungan berdiri di sana. Seorang ibu melihat kepadaku dari dalam warung, lalu aku menyapanya. "ibu..." terus melangkah masuk ke sana. "Dari mana nak?" tanya si ibu. "Aku dari Solok bu, ibu aku pesan teh hangat ya... baru pulang dari perjalanan jauh" pintaku.
Lalu si Ibu membuatkan teh hangat kemudian menyuguhkannya kepadaku. "Ibu.. rumah pak Burhan di mana bu.." tanyaku memastikannya. "Rumahnya tu... di sana, di seberang jalan sebelah kanannya" jawab si Ibu. "oh.. yang atap putih itu bu?". "Iya benar" jawabnya menyuguhkan pisang dan kue lebaran kepadaku. Hatiku bertanya-tanya, mengapa ibu ini memperlakukanku sebagai tamu? Padahal aku hanya membeli minuman saja di warungnya.
"Ada pak Burhan sekarang di rumah bu?" tanya ku lagi. "Tidak, sekarang beliau tidak di rumah, masih di terminal, mungkin sebentar lagi pulang, sudah hampir Zuhur" jawabnya mengambil posisi duduk di hadapanku.
"Dari Solok ya, Soloknya di mana?" tanyanya lagi. "Sebenarnya awak dari Kiliran Jaho bu, terus ke Solok, sebelumnya dari Koto Baru, Sebelumnya lagi dari Sungai Rumbai dari Sitiung berlebaran ke rumah keluarga." he he he he
Seorang anak gadis keluar dari kamar belakang pengen tahu ibunya mengobrol dengan siapa. "eh jauhnya... jadi sebenarnya aslinya dari mana?" telisiknya lebih dalam "Aku kemaren dari Canduang bu, kak.. terus ke Sitiung, dan sekarang tujuannya mau ke Sumanik dulu, besoknya baru ke Canduang lagi" jelasku.
"Jadi kampungnya di Canduang ya, adik saya ada sekolah di situ" jelas si kakak. "Bukan kak, awak orang Sumanik sekolah di MTI Canduang. "Oh... begitu... saya dulu juga sekolah di Canduang sampai tujuh tahun" katanya antusias. "di Canduang juga dulu ya kak...", "Iya, kelas berapa sekarang dik?" katanya. "Aku baru kelas Enam kak", "wah sekelas dong sama Sahara" jelasnya lagi.
Ops.. jantungku berdegup mendengar nama Sahara, "Iya buk, kak.. Sahara rumahnya di mana buk?" tanya ku oon. "Sahara itu anak ibu, adiknya kakak ini, rumahnya di sini, sekarang ia dengan adik-adiknya sedang ke rumah bakonya, sore mungkin baru balik" jelasnya lagi.
Tiba-tiba ingus beningku keluar karena kikuk mengobrol dengan calon mertuaku, h a ha hah ah a. Ketawa bloonku mengiringi setiap menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka semakin senang nampaknya mengintrogasiku.
Rupanya itu adalah Warungnya Sahara, dan rumahnya di seberang jalan itu, Sahara sekarang lagi keluar pergi ke rumah Bakonyo, "aku malu tidak ingin bertemu Sahara sekarang di rumahnya, lain kali saja" batinku.
Azan Zuhur berkumandang, kami shalat di warung itu, kemudian mereka menyuguhkan nasi untuk makan siang, tambah segan aku jadinya.
Tidak lama kemudian pak Burhan datang, "eh.. Fit" sapanya. Pak Burhan masih ingat dengan aku. "Iya pak, sampai juga aku di sini pak", "sudah lama?", "Belum pak, baru setengah jam", "sudah shalat Zuhur?" katanya. "Sudah pak, barusan di sini" jawabku.
Sambil makan ibu dan si kakak bercerita kepada pak Burhan bahwa tadi aku berhenti disini, pesan minum, lalu beliau menyuruh masuk, menyuguhkan kue lebaran terus cerita-cerita. Rupanya sekelas dengan Sahara. "iya benar, sebelum Ramadhan saya ada bertemu dan bercerita-cerita pula dengan Fitra di Canduang, saya ajak ia main ke sini, ni dia sudah datang" tambah pak Burhan.
Aku tidak berdiam lama di situ, malu kawan... Aku segera pamit pulang ke Sumanik. "Kok cepat amat.. tidak menunggu Sahara pulang dulu.." ledeknya. "Gak kak.. gak usah, menunggu itu sesuatu yang membosankan" jawabku oon. Aku menyetop angkutan umum lalu terbang mengirai-ngiraikan bulu seumpama Kinari baru siap mandi.
Wajahku cerah bak dapat emas bungkah, membaca salam masuk ke rumah, "emak dan bapak terperangahlah sudah, baru seminggu dari sini kok datang lagi?" Mungkin orang tuaku heran, kemaren berbulan-bulan tidak pulang, sekarang baru jarak seminggu sudah sampai lagi di rumah.
Aku ceritakan kepada bapak kisah perjalanku, bapak asyik mendengarkanku, sesekali beliau menyela bertanya tentang kabar beberapa orang keluarga di Dharmasraya. Tidak cukup di situ, aku ikuti bapak menyabit rumput terus ke kandang Sapi, sampai pulang lagi, tidak habis-habis cerita, namun cerita tentang Sahara aku sensor, malu lah.... he hehhe
Sekarang rasanya aku begitu akrab dengan bapakku, tidak ada lagi sekat-sekat pembatas, aku bebas mengekspresikan diri, beliau seolah memperlakukanku sebagai seorang dewasa, sebagai kawan berdiskusi baginya. Emakku nampak senang, beliau bahagia melihatku akur dengan bapak.
Aku masih ingat sebelum Ramadhan dulu, ketika itu beliau menangis dikala aku minta maaf kepada bapak, aku cium tangan bapak, beliau membelai punggung dan kepalaku, emak menangis tersedu-sedu begitu terharu.
Hatiku sangat bahagia Sahara, sejuk sekali, aura kasihmu membekas di jiwaku. Jika cinta itu nur, maka ia menular menerangi sekelilingnya. Tidak ada lagi derita menerpa, kalau dulu setiap saat petir menggelegar, gemuruh halilintar menyambar. Sekarang secercah embun membasahi Padang Sahara, sepotong hati berdiam di sana, sejuk menyegarkan.
0 Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.