BAJU USANG SEPATU MENGANGA SAMPAI KEPADA BERUK PEMETIK KELAPA

Senin, 10 Februari 2020 M - 16 Jumadil Akhir 1441 H
Penulis: Fitra Yadi

MTsN Sumanik
Wahyu sering melanggar peraturan sekolah; tidak pakai sandal, tidak memakai seragam sekolah, kadang ia tidak hadir beberapa hari. Aku tanya perihalnya, setelah mendapat keterangan aku kasihan dengannya. Tatkala istirahat belajar Wahyu menceritakan lagi tentang kehidupannya, ia ke sawah ke ladang membantu orang tuanya. Telapak tangannya kasar pertanda sering memegang sabit dan cangkul.
Aku teringat ketika dulu seusianya, saat itu aku dalam masa-masa ujian akhir kelas 3 MTsN Sumanik, kalau tidak salah di bulan Mei tahun 1996. Ujung jari-jari kaki ku basah dibasuh embun pagi yang melekat di rerumputan jalanan polak Ronge setiap berangkat ke sekolah. Sebabnya karena kedua ujung sepatuku menganga, jahitannya putus belum terganti. Sampai di Sekolah aku buka dulu sepatu itu untuk mengeringkan kaki. 

Sudah dua tahun aku memakai sepatu ini, tanggung membeli sepatu baru karena sekarang sudah berada di ujung tahun ajaran, yaitu bulan Mei tahun 1995. Sepatu ini adalah pemberian udo As Tuak Ukun 3 tahun yang lalu. Ketika itu orang tuaku tidak mampu membelikanku sepatu, mereka sedang banyak pengeluaran untuk biaya adik-adikku sekolah, udo As menghadiahkan sepatu kulit bekas pakainya itu kepadaku untuk dipakai ke sekolah.

Celana panjang yang aku pakaipun sudah kusam, sempit, senteng, lipatan jahitan kakinya sudah dilepas untuk menyesuaikan dengan panjang kaki, baju putih lengan pendek itu juga telah lapuk dan kusut.

Perasaan minder menggelayut menggerogoti diriku, malu dengan teman. Terlebih dengan teman-teman perempuan. Aku tidak seperti si Nas atau Reza yang begitu PDnya dengan cewek. Jauh di lubuk hati yang dalam aku juga ingin seperti mereka yang dekat-dekat dengan cewek. He he he he

Bukan hanya aku saja, kondisi ini juga terjadi pada teman-teman yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada juga teman sekelas jahitan roknya robek, dibiarkan saja dikepit-kepit malu tatkala berjalan di depan orang.

Ada lagi teman prempuan yang susah menutupi panggulnya karena baju dan jilbabnya menjadi pendek digerus masa, pertumbuhan badannya tidak seimbang lagi dengan ukuran bajunya.

Selain itu, yang membuat aku minder adalah status sosialku, pada masa itu aku bekerja sebagai tukang ambil kelapa menggunakan beruk (tukang ambiak karambia) namun bila tidak bertemu dengan kawan-kawan sekolah aku sangat menikmatinya, begini ceritanya;

Seorang tukang Karambia mengayuh pelan Sepeda Untonya (Onthel) mendaki dari Tobiang Luwak mengarah ke Simpang Limo membawa kelapa bersama Beruknya. Sadagang Karambia ditarok di boncengan double standardnya, dan seekor Beruk bertengger duduk diatas kelapa yang dibawanya kadang-kadang Beruk itu berpegangan kepada tuannya yang begitu mantap mengayuh sepeda.
Aku terpaku melihatnya, mataku nanar terpesona bak jatuh cinta, pasalnya kendaraan yang menjadi obsesiku selama ini lewat di jalan raya depan sekolah.

Aku juga punya Beruk di rumah, sepulang dari sekolah biasanya aku membawanya mencari kelapa. Bila mana orang mendengar bunyi Ganto yang tergantung di lehernya, itu sebagai pertanda bahwa Tukang Baruak siap mengambil kelapa. Bila mana tidak bertemu dengan kawan sekolah aku sangat menikmati sekali pekerjaan ini dan bercita-cita memiliki sepeda Unto (Onthel) sebagai kendaraan operasionalnya. Ha ha ha ha ha.

Terbayang alangkah asyiknya mengayuh sepeda Unto, di batang sepeda terikat Sulo (mirip tombak), di belakang bertengger Beruk Gadang, di stang sepeda bergantung pula tas Buntiah berisi kain sarung, sajadah, air minum dan nasi sebungkus. Subhanallah indahnya... Sezaman itu sudah bak mano pulo rasanya hidup seperti itu kawan...

Kadang aku banyak mendapat buah kelapa sebagai upah dari pekerjaanku memetik dan mengupas kelapa orang. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis di rumahku, bilamana sebelum sampai di rumah kelapa itu dibeli orang, maka uangnya mutlak menjadi milikku, namun bila sudah sampai di rumah, maka semua kelapa itu menjadi hak milik orang tua. Makanya sebelum sampai di rumah aku berusaha dulu keliling kampung menjual semua kelapa.

Pernah juga Ibu Roza Witri (guru kesenianku) berlangganan membeli kelapaku, harganya Rp. 500 per butirnya. Bukan hanya kelapa, aku juga terima memetik Potai, Kuwini, Durian, Lansek dan Manggis. Upahnya beda-beda, ada yang diupah dengan persenan buah, dan ada juga yang diupah dengan uang puluhan ribu rupiah.

Ketika itu di MTsN Sumanik, bukan aku saja yang berprofesi sebagai tukang petik kelapa, ada juga kawan lainnya yaitu Nedi Indra, kadang kami berdua berkongsi memetik kelapa, bila Beruknya yang memanjat maka untuk mengupasnya dipakai Sulo yang aku punya.

#8
Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdI
di Sarilamak
Senin, 10 Februari 2020 H - 16 Jumadil Akhir 1441 H
Sumber: https://fitrayadi.gurusiana.id/article/2020/2/baju-usang-sepatu-menganga-sampai-kepada-beruk-pemetik-kelapa-4024620

Posting Komentar

0 Komentar