BULETIN JUM'AT TAHUN 2 EDISI 14 - PRO KONTRA GAGASAN DAERAH ISTIMEWA MINANGKABAU

Nagari di Minangkabau oleh para antropolog diidentikkan sama dengan mini republik yang memiliki ketiga unsur pokok pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Nagari, kendati berada di tingkat terendah dari sistem pemerintahan di NKRI ini, tapi tidak sama dengan Desa di pulau Jawa yang sekarang dijadikan sebagai patokan untuk pemerintahan  terendah di seluruh Indonesia.

Sistem dan struktur desa di pulau Jawa hanyalah bersifat administratif saja sebagai ujung tombak pemerintahan kecamatan dan kabupaten dan terus keatasnya, sementara Nagari di Minangkabau adalah sistem pemerintahan yang bersifat otonom atas segala hal yang ada di dalamnya.

Dahulu ketika masih berbentuk kerajaan, wilayah adat Minangkabau terbagi dua, yaituLuhak dan Rantau. Kalau Luhak terletak di darat atau di pedalaman, sedangkan rantau terletak di lingkaran luarnya seperti di pesisir.

Luhak terbagi tiga pula; 1. Luhak Nan Tuo yaitu Tanah Datar. 2. Luhak Nan Tangah yaitu Agam. 3. Luhak Nan Mudo yaitu Limopuluah Koto. Masing-masing luhak memiliki perpanjangan wilayah adatnya ke Rantau. Misalnya Tanah Datar memiliki perpanjangan tangan ke arah Selatan, seperti Solok dan Pesisir Selatan sekarang. Kalau Luhak Agam ke arah Utara dan Barat, seperti Pasaman dan Padang-Pariaman. Sedangkan Luhak Lima Puluh Kota ke arah Timur seperti Riau, Jambi dan melintas ke seberang Selat Melaka, yang meliputi Negeri Sembilan, Kelang dan Selangor di Malaysia.

Baik di Luhak maupun di Rantau, bentukan pemerintahannya ada di Nagari. Luhak dan Rantau tidak mempunyai kesatuan administratif  pemerintahan sendiri.

Nagari di Luhak berPenghulu, Nagari di Rantau beRaja. Raja Pagaruyung tidak pernah mengatur Nagari di Luhak dan Rantau, tetapi hanya mengatur hubungan diplomatik dan sosial-ekonomi-politik dengan negara-negara tetangga di luarnya.

Konon, proses pembentukan kerajaan di Brunai sampai ke Sulu dan Mindanao di Filipina, dan malah kelompok masyarakat matrilineal di Madagaskar, di Afrika Timur, adalah hasil bekas tangan raja-raja atau perantau-petualang dari Minangkabau.

Oleh karena itu, posisi dan status nagari harus dikembalikan ke status semula, yaitu mempunyai kekhasan dan karakter sendiri.

Demikian disampaikan Dr. H Mochtar Naim salah seorang penggagas DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) dalam rilisnya di laman situs berita onlineindo.tv yang berjudul “Dengan DIM Membangun Nagari”.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa  kita memperjuangkan supaya DIM berlaku karena menginginkan mekanisme, sistem dan struktur Nagari yang merupakan kekhasan Adat dan sosial-budaya Minang itu dihidupkan dan diaktifkan kembali.

Selain merupakan kesatuan administratif pemerintahan yang sifatnya otonom dan memiliki ketiga unsur demoraksi yang diperlukan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, nagari juga merupakan kesatuan ekonomi dan sosial-budaya.

Nagari yang beruntun kebawah, ke jorong, suku dan kaum, memiliki tanah ulayat berupa pusaka tinggi yang tidak dimakan beli atau jual dan tidak pula jatuh menjadi milik pribadi. Karena itu, ketika seseorang dalam kaum meninggal, tanah tersebut tidak dibagi secara hukum Faraidh, karena tanah itu bukan milik pribadi yang meninggal tapi milik bersama, kaum, suku dan nagari.

Tanah ulayat ini berfungsi sebagai reservasi dalam menghadapi pertambahan jumlah penduduk ke masa depan. Sayangnya, sejak kemerdekaan ini, karena soal tanah juga dikuasai dan dikelola oleh negara, sekarang ratusan ribu hektar tanah rakyat di Sumbar saja yang berupa tanah ulayat bersama itu, di-HGU-kan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta yang praktis semuanya dikuasai oleh konglomerat Cina dari berbagai daerah dan negara tetangga. Sebagian besar dipakai sebagai perkebunan sawit, yang dahulunya karet. Sebagian juga sebagai  usaha galian sumberdaya alam dan
mineral.

Jika DIM nantinya berlaku, maka hak ulayat tanah adat ini harus dikembalikan kepada rakyat di Nagari bersangkutan. Selagi HGU-nya masih jalan, rakyat di Nagari diberi hak untuk mendapat kanpembagian keuntungan dari perkebunan dan usaha apapun di tanah ulayat nagari itu. Jika HGUnya habis masa pakainya, maka hak ulayat tanah itu harus kembali ke Nagari. Nagari yang menentukan bagaimana solusi dan jalan keluar dari pemanfaatan tanah ulayat yang telah habis masa
pakai HGUnya itu.

Nagari sebagai BUM Nagari juga memanfaatkan potensi apapun yang ada di Nagari, baik di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri rumah tangga, dan apapun, yang dikelola dengan prinsip Koperasi Syariah. Dengan itu kita lalu meniru cara-cara yang dilakukan di Jepang, Korea dan Cina Tiongkok.

Semua usaha perekonomian rakyat dikelola secara bersama dalam bentuk Koperasi. Dari segi sosial-budaya, juga tak sedikit yang bisa kita lakukan dengan kita men-DIM-kan ranah kampung halaman ini. Kita memerlukan dukungan moral, agama, budaya dan pendidikan untuk mengangkat warisan budaya sendiri membangun Minangkabau ke depan.

Di saat moral, agama, budaya dan pendidikan kita sedang menurun seperti sekarang ini, maka di saat yang sama ini kita perkuat kembali dengan justeru menggiatkan dan mengamalkannya secara positif-konstruktif.

Kembali ke ABS-SBK makanya adalah jalan terbaik yang harus kita temui dan lalui dengan kita menDIMkan Sumbar ini. Kita untuk itu juga perlu menghidupkan dan memfungsikan kembali sistem kepemimpinan kita yang berbentuk Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin, yang terdiri dari unsur Ninik-mamak, Alim-ulama dan Cerdik-pandai, dengan Bundo Kanduang dan Pemuda sebagai pendukungnya.

Hubungan dengan pemerintah pusat dalam kerangka NKRI sendirinya harus kita pelihara dan  perkuat. Nagari tentu saja berhak mendapatkan bantuan tahunan dari pemerintah pusat, seperti desa-desalainnya di Jawa dan Indonesia ini, sekurangnya berimbangan dengan jumlah Nagari dan penduduk yang ada, dengan prinsip berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia, seperti yang dinukilkan dalam Sila Kelima Pancasila” papar Dr. H. Mochtar Naim optimis.

Namun demikian ada pula masyarakat yang pesimis dengan gagasan DIM ini, diantaranya adalah Anna Yulend (Pengamat Budaya Minangkabau yang bermukim di Jakarta. Seperti yang dipublikasikan wartaone.co.id Anna berpendapat bahwa; apakah kondisi Minangkabau sudah memprihatinkan, sehingga dirubah menjadi DIM?

Sebagai orang Minangkabau yang hidup di rantau, ia sangat kecewa dengan gagasan DIM ini, karena ia menilai orang Minangkabau akan mundur kembali ke belakang dan berkutat pada diskusi panjang yang tidak akan habis dibahas.

Menurutnya, Minangkabau sejak dahulu sudah istimewa. Dalam hal berdemokrasi, misalnya, sudah sejak pra Hindu orang Minangkabau hidup di alam demokrasi. Pepatah adat Minangkabau yang menjadi hukum dasar demokrasi di daerah yang menganut sistem matrilinial ini adalah “ Raja adil raja disembah, Raja tidak adil raja disanggah”. Hal ini menujukkan, bahwa orang Minangkabau tidak mutlak menerima titah raja atau penguasanya.

Jika titah raja itu salah, maka wajib diluruskan. Ini sesuai dengan ajaran Islam, dimana seorang muslim wajib meluruskan Sultan atau pemimpin yang zalim sebagai salah satu bentuk jihad di
jalan Allah SWT.

Adanya kerapatan adat telah mencapai kesepakatan yang mana adat Minangkabau tercantum di dalam ABS-SBK yang sangat luar biasa istimewanya. Bahkan, masing-masing Nagari di Minangkabau memiliki sifat otonom dan berhak membuat aturan adat tersendiri dengan istilah yang terkenal, “Adat Salingka Nagari.”

Keistimewaan lain dari segi ekonomi adalah adanya Harta Pusaka Tinggi (HPT) yang dimiliki suatu suku atau kaum yang dikelola secara turun-temurun. HPT ini pun, pada kenyataannya sampai sekarang tetap eksis dan masih banyak yang bisa digarap. Jadi menurutnya, wacana DIM ini hanya akan menjatuhkan nama Minangkabau di sejagat raya kata Anna.

Ini adalah isi buletin Jum'at CV. Barito Minang Edisi: 14 Tahun II / 27 Jumadil Akhir 1436 H / 17 April 2015 M

Download Versi JPEG nya:

 

Posting Komentar

0 Komentar