Ia sendiri juga telah mengakui bahwa “Saya memang menginjak Alquran itu, dan saya akui salah. Itu saya lakukan spontan, tapi bukan untuk menghina atau menistakan agama seperti kabar yang tersebar. Saya hanya ingin memacing logika mahasiswa. Saya juga beragama Islam, jadi tidak mungkin saya punya maksud menistakan agama saya,” katanya.
Atas perbuatannya tersebut, Doktor kelahiran tahun 1985 yang tinggal di Lima Kaum Batusangkar itu
membuat surat pernyataan dan permintaan maaf pada 9 April lalu. Ia berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya atau sejenisnya kapanpun dan di mana pun ia berada.
Walaupun ia sudah minta maaf, dan kasus itu sudah dianggap selesai, tetapi kasus itu membuat kita berfikir dalam mengenai fenomena dunia pendidikan dan orang terdidik kita. Ilmu banyak, pendidikan tinggi, sudah Doktor lagi, namun rasa beragamanya masih tipis, khas-yahnya juga kurang.
Mungkin saja di kampung orang memanggilnya Angku dan sering mengisi ceramah Ramadhan serta khutbah Jum’at, namun rupanya budi pekerti atau akhlaknya belum terdidik, amaliyahnya juga bermasalah.
Pada Senin 6 April yang lalu, kita juga dikejutkan oleh kabar ditemukannya sosok mayat Dewi Yulia Sartika (37), karyawan Bank BRI Cabang Padang di dalam mobil yang terparkir di SPBU Singkut, Jambi. Saat ditemukan, diduga korban telah meninggal dunia sekitar tiga hari dibunuh di Padang oleh suaminya DR. IK dosen Ilmu Hukum Internasional (HI) Unand karena cemburu.
Di hadapan petugas pelaku mengaku, dirinya membunuh ibu dari dua anaknya itu karena merasa cemburu akibat istrinya sering pulang malam. "Saya curiga istri sering pulang malam, ya bisa saja dia punya selingkuhan. Ya, saya sempat cekcok mulut dengan dia. Saya panik maka saya masukan istri saya ke mobil. Saya bingung mau di bawa kemana mayat istri saya dan saya pun ingin mati juga," kata doktor yang diwisuda Oktober 2014 dalam keadan lemah di rumah sakit setelah menenggak racun.
Kejadian ini membuat kita berfikir dalam mengenai fenomena pendidikan dan orang terdidik kita. Ilmu banyak, pendidikan tinggi, sudah Doktor lagi, namun rasa beragamanya tipis. Mungkin saja di lingkungan tempat tinggal dan di tempat bekerja, ia dihormati orang, dimulyakan karena ia orang berilmu, namun kenyataannya budi pekerti atau akhlaknya belum terdidik, khas-yahnya kepada Allah sangat jauh.
Di era globalisasi ini, akibat hidup bercampur-baur, dimana informasi, ajaran serta paham mudah masuk melalui berbagai media, hal itu sangat berimbas terhadap pengikisan nilai, moral dan akhlak anak-anak didik serta pengajar di sejumlah lembaga pendidikan kita.
Tentu saja melihat fenomena diatas kita bisa pahami ternyata sekarang telah terjadi pengikisan moral dan akhlak terhadap orang terdidik kita. Ilmunya memang banyak, pendidikan memang tinggi, sudah Doktor lagi, namun rasa beragamanya tipis, khas-yah (ketakutannya kepada Allah) sangat kurang. Sungguh teramat sayang.
Setahun yang lalu kita sering mendengar istilah "Pendidikan Karakter",yang sering menjadi berbagai tema dan judul pembahasan baik secara ilmiyah maupun non-ilmiyah.
Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter (akhlak) kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah Swt. diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam UU 20/2003 tentang Simtem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berakhlak mulia. Menurut Dr. Marzuki, M.Ag, karakter itu identik dengan akhlak. Dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh.
Ibarat bangunan, karakter/akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang benar. Seorang Muslim yang memiliki aqidah atau iman yang benar pasti akan terwujud pada sikap dan perilaku sehari-hari yang didasari oleh imannya.
Sebagai contoh, orang yang memiliki iman yang benar kepada Allah ia akan selalu mengikuti seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-larangan-Nya. Dengan demikian, ia akan selalu berbuat yang baik dan menjauhi hal-hal yang dilarang (buruk). Iman kepada yang lain (malaikat, kitab, dan seterusnya) akan menjadikan sikap dan perilakunya terarah dan terkendali, sehingga akan mewujudkan akhlak atau karakter mulia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan syariah. Semua ketentuan syariah Islam bermuara pada terwujudnya akhlak yang mulia.
Seorang yang melaksanakan shalat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya, pastilah akan membawanya untuk selalu berbuat yang benar dan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini dipertegas oleh Allah dalam al-Quran (QS. al-Ankabut [29]: 45). Artinya: Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Demikianlah hikmah pelaksanaan syariah dalam hal shalat yang juga terjadi pada ketentuan-ketentuan syariah lainnya seperti zakat, puasa, haji, dan lainnya. Hal yang sama juga terjadi dalam pelaksanaan muamalah, seperti perkawinan, perekonomian, pemerintahan, dan lain sebagainya. Kepatuhan akan aturan muamalah akan membawa pada sikap dan perilaku seseorang yang mulia dalam segala aspek kehidupannya. Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting, tetapi merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang dapat bersikap dan berperilaku mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi SAW.
Dengan pemahaman yang jelas dan benar tentang konsep akhlak, seseorang akan memiliki pijakan dan pedoman untuk mengarahkannya pada tingkah laku sehari-hari, sehingga dapat dipahami apakah yang dilakukannya benar atau tidak, termasuk karakter mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah).
Baik dan buruk karakter manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikannya sebagai pijakan. Tentunya pijakan yang baik bagi kita adalah Al-quran dan Sunnah atau dengan pepatah lama itu dikatakan “Adat nan Kawi, Syarak nan Lazim”. Bila kita sudah bersikap sebagaimana tuntunan Allah, Insyaallah hidup akan lebih baik. Otaknya cerdas, pendidikannya tinggi, wawasannya luas, imannya kuat, amalnya shaleh serta berakhlak mulia.
Kalau itu sudah tercapai, maka tujuan pendidikan Nasioal sudah tercapai dengan sendirinya adanya.
Ini adalah isi buletin Jum'at CV. Barito Minang Edisi: 17 Tahun II / Jum’at, 12 Rajab 1436 H / 1 Mei 2015 M
0 Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.