إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له و من يضلله فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله. اللهم صل وسلم و بارك على سيدنا محمد وعلى آله و اصحابه أجمعين. اما بعد
KaumMuslimin yang berbahagia. Sujud serta syukur dihaturkan ke hadirat Allah 'Azza wa Jalla, hendaknya hal itu selalu menghiasi disetiap gerak kehidupan kita. Semoga kita senantiasa termasuk orang bersyukur.
Kemudian shalawat dan salam dikirimkan kepada junjungan kita, Baginda Muhammad SAW. Semoga kita selalu mengamalkan Sunnahnya dan memperjuangkan tegaknya Izzatul Islam wal Qaumul Muslimin di Ranah Minangkabau yang kita cintai ini.
Kemudian shalawat dan salam dikirimkan kepada junjungan kita, Baginda Muhammad SAW. Semoga kita selalu mengamalkan Sunnahnya dan memperjuangkan tegaknya Izzatul Islam wal Qaumul Muslimin di Ranah Minangkabau yang kita cintai ini.
Adaik babuhua sintak, Syarak babuhua mati. Artinya peraturan adat bisa dilepaskan dan disesuaikan dengan aturan syarak. Namun aturan syarak tidak bisa dirubah sama sekali.
Islam di Minangkabau memang belum sempurna, namun upaya dakwah terus berlanjut sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Upaya penyempurnaan syari’at Islam di Minangkabau itu, secara besar-besaran mulai nampak sejak pulangnya tiga orang Haji menuntutilmu agama dari Makkah. Yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada tahun 1803 M.
Bersama mereka bergabung pula Tuanku Nan Renceh dan Ulama-ulama lainnya di Minangkabau. Kemudian mereka mendirikan semacam front yang bernama Harimau Nan Salapan.
Tuanku Lintau diminta oleh Harimau Nan Salapan untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah bersama Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan merusak yang diharamkan secara syari’at Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat dengan Kaum Adat. Seiring dengan itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Harimau Nan Salapan dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan yang sudah terbakar.
Islam di Minangkabau memang belum sempurna, namun upaya dakwah terus berlanjut sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Upaya penyempurnaan syari’at Islam di Minangkabau itu, secara besar-besaran mulai nampak sejak pulangnya tiga orang Haji menuntutilmu agama dari Makkah. Yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pada tahun 1803 M.
Bersama mereka bergabung pula Tuanku Nan Renceh dan Ulama-ulama lainnya di Minangkabau. Kemudian mereka mendirikan semacam front yang bernama Harimau Nan Salapan.
Tuanku Lintau diminta oleh Harimau Nan Salapan untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah bersama Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan merusak yang diharamkan secara syari’at Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat dengan Kaum Adat. Seiring dengan itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Harimau Nan Salapan dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan yang sudah terbakar.
Karena terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Hindia-Belanda pada tanggal 21 Februari 1821 untuk memerangi Harimau Nan Salapan. Sehingga tantangan dakwah semakin hebat yang mengharuskan berjuang melalui peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan jiwa raga.
Orang Belanda menyebut Harimau Nan Salapan beserta anggota-anggotanya sebagai kaum Paderi, yang berasal dari bahasa Portugis, Padre atau dalam bahasa Belanda Vader yang berarti “Ayah” atau “Pendeta”. Mereka menyebut Harimau Nan Salapan sama seperti menyebut pendeta di negeri mereka.
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Kemudian Belanda mengajak pemimpin Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November tahun 1825.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat untuk berdamai, sehingga lahirlah suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam pada tahun 1837.
Konsensus itu kemudian mejadi adagium (hukum masyarakat) yang terkenal dengan istilah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada syari’ah Islam, sedangkan Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Piagam itu lahir sebagai solusi merangkul seluruh masyarakat Minangkabau sehingga berangsur-angsur menyesuaikan seluruh segi kehidupannya dengan syarak. Sehingga kemudian hari lahirlah norma-norma masyarakat yang berlandaskan kepada syarak.
Tahun demi tahun perkara-perkara yang semula berkontradiksi dengan syari’ah Islam mulai hilang dan dapat dicarikan jalan keluarnya.
Misalnya saja tentang sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinel (hubunga ke ibu) dengan sistem kekeraban Syari’ah yang patrilineal (hubungan ke bapak). Sekarang sudah dapat jalan keluarnya, dimana kedua hal itu tidak lagi berlawanan. Secara total masyarakat telah menerima bahwa bernashab dari garis keturunan ayah serta tetap mempererat hubungan tali kekeluargaan dengan keluarga ibu. Bukankah persaudaraan yang luas itu sangat dianjurlan oleh Islam.
Kemudian dalam perkara harta warisan. Dimana menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu, sedangkan anak laki-laki hanya boleh mengelola saja.
Sekarang hal itu tidak lagi bertentangan, secara berangsur-angsur sudah dapat solusinya didalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Karena harta pusaka itu turun-menurun dari dahulu kala yang bukan haq milik, hanya haq pakai saja bagi pewarisnya. Maka itu disebut sebagai pusako tinggi. Sedangkan harta pencarian seseorang sebagai hasil usaha maka itu adalah hak milik yang disebut sebagai pusako randah.
Abdul Karim Amrullah memfatwakan bahwa harta pusako tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan. Namun harta pusako randah harus dibagi sesuai fara’idh.
Kemudian mengenai larangan kawin sepersukuan. Dimana seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan gadis yang satu suku dengannya dimanapun ia berada, walaupun tidak tinggal dalam satu kampung yang sama. Sedangkan menurut Syari’at hal itu dibolehkan, tidak ada larangannya.
Secara berangsur-angsur hal itu tidak lagi bertentangan, karena ada penyesuian-penyesuaian dengan lahirnya interpretasi-interpretasi baru dari cadiak-pandai Minangkabau. Sekarang hal itu dimaknai dengan Surat an-Nisa ayat 09:
Orang Belanda menyebut Harimau Nan Salapan beserta anggota-anggotanya sebagai kaum Paderi, yang berasal dari bahasa Portugis, Padre atau dalam bahasa Belanda Vader yang berarti “Ayah” atau “Pendeta”. Mereka menyebut Harimau Nan Salapan sama seperti menyebut pendeta di negeri mereka.
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Kemudian Belanda mengajak pemimpin Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November tahun 1825.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat untuk berdamai, sehingga lahirlah suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam pada tahun 1837.
Konsensus itu kemudian mejadi adagium (hukum masyarakat) yang terkenal dengan istilah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada syari’ah Islam, sedangkan Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Piagam itu lahir sebagai solusi merangkul seluruh masyarakat Minangkabau sehingga berangsur-angsur menyesuaikan seluruh segi kehidupannya dengan syarak. Sehingga kemudian hari lahirlah norma-norma masyarakat yang berlandaskan kepada syarak.
Tahun demi tahun perkara-perkara yang semula berkontradiksi dengan syari’ah Islam mulai hilang dan dapat dicarikan jalan keluarnya.
Misalnya saja tentang sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinel (hubunga ke ibu) dengan sistem kekeraban Syari’ah yang patrilineal (hubungan ke bapak). Sekarang sudah dapat jalan keluarnya, dimana kedua hal itu tidak lagi berlawanan. Secara total masyarakat telah menerima bahwa bernashab dari garis keturunan ayah serta tetap mempererat hubungan tali kekeluargaan dengan keluarga ibu. Bukankah persaudaraan yang luas itu sangat dianjurlan oleh Islam.
Kemudian dalam perkara harta warisan. Dimana menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu, sedangkan anak laki-laki hanya boleh mengelola saja.
Sekarang hal itu tidak lagi bertentangan, secara berangsur-angsur sudah dapat solusinya didalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Karena harta pusaka itu turun-menurun dari dahulu kala yang bukan haq milik, hanya haq pakai saja bagi pewarisnya. Maka itu disebut sebagai pusako tinggi. Sedangkan harta pencarian seseorang sebagai hasil usaha maka itu adalah hak milik yang disebut sebagai pusako randah.
Abdul Karim Amrullah memfatwakan bahwa harta pusako tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan. Namun harta pusako randah harus dibagi sesuai fara’idh.
Kemudian mengenai larangan kawin sepersukuan. Dimana seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan gadis yang satu suku dengannya dimanapun ia berada, walaupun tidak tinggal dalam satu kampung yang sama. Sedangkan menurut Syari’at hal itu dibolehkan, tidak ada larangannya.
Secara berangsur-angsur hal itu tidak lagi bertentangan, karena ada penyesuian-penyesuaian dengan lahirnya interpretasi-interpretasi baru dari cadiak-pandai Minangkabau. Sekarang hal itu dimaknai dengan Surat an-Nisa ayat 09:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Qs.4: 09
Anak yang lemah sebagaimana disebutkan pada ayat diatas diantaranya adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan sedarah.
Pernikahan sedarah yang dimaksud disini adalah antar sepupu, satu marga, suku atau yang garis keluarganya sangat dekat. Diantara bahaya yang bisa timbulkan adalah sulitnya mencegah terjadinya penyakit yang terkait dengan gen buruk orangtua pada anak-anaknya, seperti kebutaan, ketulian, penyakit kulit dan kondisi neurodegeneratif.
Hal inilah yang membahayakan pernikahan sedarah atau memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, karena risiko penyakit atau kondisi genetik tertentu menjadi lebih besar.
Demikianlah diantara bentuk-bentuk penyesuaian kehidupan adat di Minangkabau dengan syarak. Janganlah cepat-cepat menyalahkan adat bila dinilai tidak sesuai dengan syari’at. Karena dakwah itu berangsur-angsur dan belum sempurna.
Ini adalah isi buletin Jum'at CV. Barito Minang Edisi: 06 Tahun II / 16 Rabi’ul Akhir 1436 H / 06 Februari 2015
Download Versi JPEG nya:

Anak yang lemah sebagaimana disebutkan pada ayat diatas diantaranya adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan sedarah.
Pernikahan sedarah yang dimaksud disini adalah antar sepupu, satu marga, suku atau yang garis keluarganya sangat dekat. Diantara bahaya yang bisa timbulkan adalah sulitnya mencegah terjadinya penyakit yang terkait dengan gen buruk orangtua pada anak-anaknya, seperti kebutaan, ketulian, penyakit kulit dan kondisi neurodegeneratif.
Hal inilah yang membahayakan pernikahan sedarah atau memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, karena risiko penyakit atau kondisi genetik tertentu menjadi lebih besar.
Demikianlah diantara bentuk-bentuk penyesuaian kehidupan adat di Minangkabau dengan syarak. Janganlah cepat-cepat menyalahkan adat bila dinilai tidak sesuai dengan syari’at. Karena dakwah itu berangsur-angsur dan belum sempurna.
Ini adalah isi buletin Jum'at CV. Barito Minang Edisi: 06 Tahun II / 16 Rabi’ul Akhir 1436 H / 06 Februari 2015
Download Versi JPEG nya:

1 Komentar
Hanya Allah yang sempurna
BalasHapusSilahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.