الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد الصادق الوعد الأمين. أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم و بارك على سيدنا محمد وعلى آله و اصحابه أجمعين. اما بعد
Puja dan puji ke hadirat Allah di setiap tarikan nafas kita. Bila dihitung, sungguh tidak akan terbilang nikmat yang diberikan-Nya itu kepada kita. Shalawat dan salam senantiasa dihadiahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW. semoga beliau dan keluarga serta sahabatnya selalu dalam lindungan Rahmat Allah SWT.
Masyarakat Minang adalah salah satu suku bangsa yang kehidupannya tidak bisa dipisahkan dari Islam. Sudah menjadi keyakinan bahwa "Jika keluar dari Islam berarti sudah keluar dari adat Minangkabau. Jika ada orang Minang yang keluar dari Islam maka secara sosial ia telah terbuang dari Minangkabau.
Dari waktu ke waktu, nampak masyarakat Minang selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tradisi dan syari’at keislaman. Upaya itu telah dimulai sejak Islam masuk ke ranah Minang. Persesuaian tersebut awalnya terjadi secara bertahap, ketika Islam mulai masuk dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek). Dalam sastra Minang, hal itu digambarkan dalam pepatah: Syarak Mandaki, Adat manurun, adaik dibao
turun, syarak dibao naik. Kita meyakini bahwa adat dengan sendirinya mengandung nilai-nilai hukum alam (Sunnatullah), dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan Islam. Dan kita juga meyakini bahwa di dalam sistem sosial kemasyarakatan kita, Islam dan adat telah terintegrasi dengan baik. Hal ini nampak dalam adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Untuk mewujudkannya, muncul berbagai interpretasi berupa pepatah-petitih mengiringinya yang diciptakan oleh cerdik-pandai kita dulu, semacam TOR lisan, seperti:syarak mandaki, adat manurun; syarak mangato, adat mamakai; syarak babuhua mati, adat babuhua sentak; syarak balinduang, adat bapaneh; dan adat basisampiang, syarak batilanjang. Adat nan Kawi, Syarak nan Lazim.
Syarak mandaki, adat manurun, artinya adalah; Bahwa Islam dahulunya berasal dan dikembangkan oleh para da’i dari daerah pesisiran pantai lalu mendaki ke darek ke wilayah-wilayah pedalaman Minangkabau. Sedangkan ajaran adat dahulunya berasal dari darek kemudian berkembang menurun ke daerah rantau sepanjang pesisiran pantai di alam Minangkabau.
Dan dapat juga berarti bahwa; Islam dapat menjadi tinggi dan mampu mengatasi berbagai orang-orang yang menentangnya. Sedangakan adat bisa menjadi rendah menyesuaikan diri menghadapi pergolakan masa.
Kemudian syarak mangato, adat mamakai, artinya adalah bahwa; segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadist Nabi diterapkan melalui adat
Selanjutnya syarak babuhua mati, adat babuhua sentak, artinya bahwa: Segala aturan syarak tidak bisa ditawar-tawar, apa yang dihukumkan memang seperti itulah diamalkan apa adanya. Sedangakan aturan-aturan adat bisa saja dimusyawarahkan sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan yang mempengaruhinya.
Syarak balinduang, adat bapaneh, artinya adalah: Adat bagaikan tubuh, syarak adalah sebagai jiwanya. Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain.
Adat basisampiang, adat batilanjang artinya; Hukum syarak disampaikan dengan tegas dan terang, sedangkan perkara-perkara adat disampaikan dengan gaya bahasa menyamping atau malereng.
Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim; artinya, adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan
atau diterapkan melalui praktek adat.
Kita orang Minangkabau sangat kuat memeluk Islam dan tetap teguh mempertahankan adat, sehingga orang luar mengakui bahwa hubungan Islam dengan adat di Minangkabau memang sangat kompleks. Dalam hal-hal tertentu kadang nampak bertentangan, namun melalui proses pengintegrasian akhirnya berhasil disesuaikan sehingga selaras menjadi sebuah kesatuan sistem secara utuh.
Misalnya saja tentang hubungan kekerabatan di Minangkabau yang secara adat bersifat matrilineal (hubunga ke ibu), sedangkan disisi lain kita juga mengamalkan sistem kekeluargaan Islam yang memperlihatkan sifat patrilineal (hubungan ke bapak). Itu tidak berlawanan, bukanlah bagai malam dengan siang, dan tidak pula seperti iyo dengan tido. Tetapi tetap bernashab dari garis keturunan darah ayah serta tetap mempererat hubungan kekeluargaan dengan tali hubungan keluarga ibu. Bukankah itu sangat baik sebagai perluasan hubungan persaudaraan dan silaturrahim.
Adagium ABS-SBK bermula dari Piagam (Sumpah Sati) Bukit Marapalam yang konon terjadi pada tahun 1837, usai Perang Paderi. Dimana ketika itu golongan syarak berdamai dengan golongan adat setelah terpecah belah lebih dari 30 tahun atas adu domba Belanda.
Secara detail sejarawan memang tidak pernah mendapat rujukan tertulis mengenai sejarah pembentukan falsafah hidup orang Minang itu. Tentang siapa yang merumuskan, bagaimana perumusannya, apakah rumusan itu tertulis atau lisan saja.
Yang penting kita ketahui hanyalah bahwa Piagam itu lahir sebagai solusi untuk ‘mempertautkan kembali Minangkabau yang terbelah dua. Kaum Adat dan Kaum Agama saling berangkulan berintegrasi berangsur-angsur menyesuaikan praktek adat dengan syarak. Sehingga kemudian lahirlah hukum-hukum adat yan berlandaskan kepada syarak.
Secara sederhana istilah “Adat” itu adalah berarti tingkah laku perangai atau kebiasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Sedangkan istilah “hukum adat” adalah berarti kumpulan aturan-aturan dalam masyarakat yang tidak tertulis namun mengikat hajat
hidup masyarakat itu.
Proses penyesuaian adat Minangkabau dengan syarak itu sehingga melahirkan hukum adat yang berasal dari tiga alur (alua), yaitu;
1. Alur Adat; Maksudnya adalah peraturan-peraturan yang asalnya dibuat atas kesepakatan penghulu setempat yang sewaktu-waktu dapat berubah, umpanya dalam menggelar helat perkawinan, cara meresmikan gelar adat dan sebagainya.
2. Alur Pusako; Adalah peraturan-peraturan yang sudah diterima dari nenek moyang kita di Minangkabau seumpama gelar pusako, pusako nagari, syarat nagari undang duo puluah , cupak nan duo, kato nan ampek dan sebagainya.
3. Jalan nan Pasa; Adalah jalan yang perlu ditempuh oleh setiap manusia yaitu jalan dunia dan jalan
akhirat.
Dalam proses panjang penyesuaian adat dengan syarak selanjutnya, lahirlah interpretasi (penafsiran) baru terhadap pembagian adat. Kemudian kita mengenal bahwa adat itu terbagi kepada empat, yakni:
1. Adat Nan Sabana Adat. Yaitu aturan pokok yang mendasari kehidupan kita yaitu Alquran dan Sunnah
Sunnah Rasulullah SAW. yang berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan sebagaimana dikiaskan dalam kata-kata adat “Nan tidak lakang dek paneh. Nan indak lapuak dek ujan, paling-paliang hanyo balumuik dek lakek cindawan tumbuah”.
2. Adat Nan Diadatkan. Yaitu kaidah, peraturan, ajaran, undang-undang dan hukum yang ditetapkan atas dasar bulat mufakat (kesepakatan) para penghulu tua-tua adat cerdik pandai dalam Majelis kerapatan adat atas dasar alur dan patut.
3. Adat Nan Teradat. Yaitu peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu dalam suatu nagari untuk mencapai tujuan yang baik dalam masyarakat. Sifatnya tidak sama bisa saja berbeda di tiap-tiap nagari. “Adat sepanjang jalan. Bacupak sepanjang batuang. Lain lubuak lain ikan. Lain padang lain bilalang. Lain nagari lain adatnyo. Adat sanagari-nagari".
4. Adat Istiadat. Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam suatu tempat yang berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan masyarakat dalam nagari itu. Ini adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru meniru, tidak diberi kekuatan pengikat dan tidak pula bertentangan dengan Adat nan teradat. | Fitra Yadi
0 Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.